Pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-bangsa Ban Ki Moon yang mengecam
hukuman mati yang diterapkan Indonesia
sangat tidak bijak, kata Wakil Ketua Badan Kerja
Sama Antar Parlemen Meutya Hafid.
Meutya mempertanyakan standar ganda yang
diterapkan lembaga itu terhadap Indonesia.
"Jika Sekjen PBB melarang hukuman mati, saya
mempertanyakan di mana kah pembelaan
Sekjen PBB saat TKI asal Indonesia, Siti Zaenab,
dihukum mati 14 April lalu oleh Arab Saudi? Di
mana kah pembelaan Sekjen PBB terhadap 37
tenaga kerja Indonesia yang akan dihukum mati
oleh Arab Saudi?" tanya Meutya dalam
pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com,
Minggu (26/4/2015).
Politikus Partai Golkar itu mencurigai PBB
hanya membela kepentingan negara besar saja
saat mengecam hukuman mati. Dia menilai
pernyataan Ban Ki Moon itu tidak bijak dengan
mengungkap bahwa narkoba bukan kejahatan
serius.
“Bahkan Sekjen PBB mengintervensi
Pemerintah Indonesia agar membatalkan
hukuman mati bagi para terdakwa yang
tersangkut narkoba,” sebutnya.
Padahal, Muetya mengungkapkan, saat ini
Indonesia merupakan pasar narkoba yang
sangat besar. Jumlah pecandu narkoba di
Indonesia sudah mencapai 3,9 juta orang dan
nilai transaksi perdagangan narkoba Rp 48
triliun per tahun.
Setiap hari 50 orang Indonesia meninggal dan
tiap tahunnya 18.000 orang Indonesia
meninggal akibat narkoba, serta sekitar 4,5 Juta
warga negara Indonesia masih direhabilitasi
juga akibat narkoba.
“Narkoba di Indonesia sudah pada level sangat
berbahaya. Kejahatan narkoba merupakan salah
satu kejahatan luar biasa sehingga layak
pelakunya dihukum mati,” ujar mantan
wartawan ini.
Seperti dilansir kantor Berita AFP (26/4/2015),
Sekjen PBB melalui juru bicaranya mengatakan
eksekusi mati berdasarkan ketentuan hukum
internasional hanya dapat diberikan bagi pihak
yang melakukan kejahatan serius seperti
mencabut banyak nyawa orang sekaligus.
Sementara, narkoba tidak termasuk kategori
itu.
Berdasarkan hukum internasional, hukuman
mati bisa diterapkan untuk kejahatan yang
sifatnya paling serius seperti pembunuhan
secara disengaja. Sementara pelanggaran
terkait obat, umumnya tidak termasuk kategori
'kejahatan paling serius'.
Bangsa-bangsa Ban Ki Moon yang mengecam
hukuman mati yang diterapkan Indonesia
sangat tidak bijak, kata Wakil Ketua Badan Kerja
Sama Antar Parlemen Meutya Hafid.
Meutya mempertanyakan standar ganda yang
diterapkan lembaga itu terhadap Indonesia.
"Jika Sekjen PBB melarang hukuman mati, saya
mempertanyakan di mana kah pembelaan
Sekjen PBB saat TKI asal Indonesia, Siti Zaenab,
dihukum mati 14 April lalu oleh Arab Saudi? Di
mana kah pembelaan Sekjen PBB terhadap 37
tenaga kerja Indonesia yang akan dihukum mati
oleh Arab Saudi?" tanya Meutya dalam
pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com,
Minggu (26/4/2015).
Politikus Partai Golkar itu mencurigai PBB
hanya membela kepentingan negara besar saja
saat mengecam hukuman mati. Dia menilai
pernyataan Ban Ki Moon itu tidak bijak dengan
mengungkap bahwa narkoba bukan kejahatan
serius.
“Bahkan Sekjen PBB mengintervensi
Pemerintah Indonesia agar membatalkan
hukuman mati bagi para terdakwa yang
tersangkut narkoba,” sebutnya.
Padahal, Muetya mengungkapkan, saat ini
Indonesia merupakan pasar narkoba yang
sangat besar. Jumlah pecandu narkoba di
Indonesia sudah mencapai 3,9 juta orang dan
nilai transaksi perdagangan narkoba Rp 48
triliun per tahun.
Setiap hari 50 orang Indonesia meninggal dan
tiap tahunnya 18.000 orang Indonesia
meninggal akibat narkoba, serta sekitar 4,5 Juta
warga negara Indonesia masih direhabilitasi
juga akibat narkoba.
“Narkoba di Indonesia sudah pada level sangat
berbahaya. Kejahatan narkoba merupakan salah
satu kejahatan luar biasa sehingga layak
pelakunya dihukum mati,” ujar mantan
wartawan ini.
Seperti dilansir kantor Berita AFP (26/4/2015),
Sekjen PBB melalui juru bicaranya mengatakan
eksekusi mati berdasarkan ketentuan hukum
internasional hanya dapat diberikan bagi pihak
yang melakukan kejahatan serius seperti
mencabut banyak nyawa orang sekaligus.
Sementara, narkoba tidak termasuk kategori
itu.
Berdasarkan hukum internasional, hukuman
mati bisa diterapkan untuk kejahatan yang
sifatnya paling serius seperti pembunuhan
secara disengaja. Sementara pelanggaran
terkait obat, umumnya tidak termasuk kategori
'kejahatan paling serius'.